Titik nadir dalam kehidupan tengah menyapa . Bermacam prasangka berkelebat cepat di benak serta, bernegoisasi dengan kenyataan yang jauh dari nyaman. Ketidakhabisan pikir ini membuat saya merenung dalam-dalam. Evaluasi hidup singkat memenuhi pikiran. Bila telah begini, apa yang sebaiknya dilakukan? Bila terpuruk begini, hal bijak apa yang seharusnya dirumuskan? Saya nihil. Bahkan sempat terbersit pikiran untuk hengkang dari Institusi yang telah banyak memberikan kontribusi dalam kehidupan saya.
Hingga pada hela napas ke sekian, saya kemudian menengadahkan wajah. Saya tahu, Tuhan tengah memberikan ujian, tanda Dia menyayangi hamba-Nya. dan juga yakin, bahwa ujian yang diberikan tidak akan melebihi kadar kemampuan si hamba. Bukankah hanya seorang pecundang yang melihat permasalahan dalam setiap solusi? Bukankah pemenang adalah seorang yang dapat melihat solusi dalam setiap permasalahan?
Memantapkan langkah menuju Solo adalah sebuah asa dan perjuangan, sebuah kota asing yang katanya, banyak melahirkan tokoh nasional. Saya berusaha menatap masa depan dengan optimisme baru, lantaran bila tak memilih untuk melanjutkan hidup, berarti saya telah mati. Sedikit tahu saya tentang Solo bahkan tak menyurutkan tekad saya itu.
Citra pajak di Solo telah lama didiskreditkan. Apalagi, Solo adalah kota dagang. Masyarakatnya sangat doyan berdagang. Transaksinya tak pernah mati. Kota yang tak pernah tidur. Ketika itu, saya beradaptasi cepat dan berusaha keras berhubungan dengan masyarakat luas. Siapa pun saya datangi. Saya ingin segera tahu, potensi apa yang bisa dikelola. Saya ingin segera tahu, ceruk bisnis mana yang bisa dimobilisasi untuk mendukung pencitraan pajak. Saya juga ingin segera tahu, siapa saja yang dapat saya ajak bekerja sama untuk mengabdi pada republik
Dengan sepenuh hati, saya memotivasi dan memompa semangat . Saya bilang, “Yang penting, kita kerja saja”. Tidak usah banyak berpikir atau khawatir. Bila kita telah banyak berusaha, hasilnya tentu akan menggembirakan. Semua ini kita persembahkan saja untuk melayani masyarakat. Untuk negara. Dan yang paling penting, untuk menggapai ridha Tuhan YM
Bergegas mengurai benang kusut persoalan, perlahan tapi pasti untuk menjadi lebih baik, merupakan asa yang mulai tumbuh. Memberikan advice, sedikit sentuhan. pembenahan kualitas SDM, analisis kerja, hingga ke skenario untuk bergerak intensif, untuk arahan prestasi yang lebih baik dan mendorong kinerja yang memuaskan.
Begitu pun dengan KP2KP Muntilan. Selama empat bulan saya tidur di kantor, untuk menghidupkan kembali institusi pajak yang telah lama mati suri itu. Setiap kali berangkat ke Muntilan menggunakan Kereta Pramex, saya menikmati sensasi hidup, yang sebelumnya, bahkan terpikirkan saja tidak. Bertahap tapi pasti, tampaklah perubahan itu. Tiga orang staf yang saya pimpin merasa nyaman dan senang. Saya juga mulai dekat dengan masyarakat Muntilan. Seorang ibu, penjual wedangan di depan kantor bahkan sangat mengenal saya, lantaran setiap saat berinteraksi.
Di Solo pula saya bisa berangkat ke Jepang, untuk belajar lebih banyak tentang kehumasan. Saya tersenyum simpul, andai di Jakarta, barangkali Jepang hanya impian. Sederas apa pun keringat saya menetes untuk kerja-kerja pajak di Jakarta, sepertinya tidak mungkin saya direkomendasikan untuk studi kehumasan ke luar negeri. Karena itulah, saya mulai mencintai Kota Solo yang dinamis di mata saya.
Saya mulai memahami banyak strategi media massa, wirausaha, marketing, juga linkage setelah sebentar berproses di Solo. Anugerah itu terus bertambah dengan berdatangannya teman-teman baru yang selalu mendukung setiap aktivitas saya. Tidak bisa saya bayangkan, bila saja dulu, saat saya hopeless dan memutuskan untuk berhenti berproses. Saya terus bersyukur, bahwa ternyata banyak hal yang dapat saya pelajari, setelah saya memutuskan untuk terus belajar dari keadaan, meski sulit.
20 februari 2011 saya bergabung pertama kali di kompasiana, bertekad untuk menjadi kompasianer dan betapa aura hati saya bergolak membaca cerita, berita bahkan sekedar informasi dari para kompasianer. Tanggapan dan saran bermunculan disetiap tulisan saya, terimakasih untuk para kompasianer, saya tahu masih banyak perbaikan-perbaikan dan ilmu menulis yang saya gali untuk membuat lebih dalam dan nyata (kompasiana/erwinmalian)..
Sampai pada titik ini, saya menjadi tahu bahwa hidup adalah amanah dan ibadah. Bila seseorang menjalankan amanahnya dengan ibadah, serta dilandasi dengan dedikasi beribadah pada Tuhan, seberat apa pun hidup ini, akan dapat dijalani dan memberikan ketahanan yang luar biasa. Tanpa ketahanan, hidup akan terasa janggal, dan tak dapat dinikmati.
Bersyukur dan selalu melihat hikmah menjadi fondasi krusial untuk berhadapan dengan persoalan. Asalkan seseorang dapat take and give di lingkungan kerjanya, lantas terus termotivasi, dan membangun simbiosis mutualisme dengan siapa pun, maka pekerjaan dalam skala apa pun akan didukung banyak pihak. Pada akhirnya, pekerjaan itu akan mencapai performa tertingginya, bermanfaat bagi semua orang, dan memuaskan.
Biarlah sejarah terus mengiringi langkah saya untuk menjalani hari ini dan merumuskan masa depan. Pelajaran yang saya ambil adalah saya akan semakin siapdimanapun saya berada. Saya berharap, apa pun itu, semoga akan membuat saya semakin bijak dan berguna bagi siapa pun. Sebab, padi tak akan tumbuh berisik. Semakin padi berisi, ia akan menunduk, tanda penuh dengan bulir-bulir beras berkualitas.
Terima kasih ya Allah, atas semua rahmat-Mu. (kompasiana/erwinmalian)
0 komentar:
Posting Komentar