Tahukah anda bahwa terhitung mulai sejak tanggal 1 Januari 2011 BPHTB akan diserahkan ke Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota) di seluruh Indonesia dari Pemerintah Pusat (Kementerian Keuangan/Ditjen Pajak)? Apakah anda juga sudah mendengar atau membaca berita bahwa PBB Sektor Pedesaan dan Perkotaan akan diserahkan ke Pemda pada 1 Januari 2014?
Ternyata, setelah membaca salah satu surat kabar harian ternama nasional, kalau tidak salah Kompas yang entah tanggal berapa saya agak lupa yang memberitakan bahwa saat itu baru Pemda Propinsi Jawa Timur dan Pemkot Surabaya yang telah menyatakan kesiapannya menerapkan PBB P2 dan BPHTB di wilayahnya sesuai amanat UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) Nomor 28 tahun 2009.
Ada perubahan mendasar dalam pengenaan tarif pada PBB P2 dan BPHTB yang baru sesuai UU PDRD yang baru tersebut yaitu; PBB P2 yang sebelumnya 0,5% dari Nilai Jual menjadi paling tinggi 3%. NJKP (Nilai Jual kena Pajak) yang tadinya 20%-40% menjadi 0%. NJOPTKP (Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak) yang tadinya paling tinggi Rp12 juta menjadi paling rendah Rp10 juta. Sedangkan BPHTB, yang semula 5% menjadi paling tinggi 5%.
Pemda dalam hal ini Propinsi mendapat tambahan melakukan pemungutan yaitu Pajak Rokok dan Pajak Air Permukaan. Pemda Kabupaten/Kota mendapat tambahan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (eks Pajak Galian Golongan C), Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Air Tanah, PBB P2 dan BPHTB. Daerah dilarang memungut jenis pajak selain yang telah disebutkan dalam UU PDRD yang baru dan dapat tidak dipungut apabila potensinya kurang memadai.
Menurut UU PDRD yang baru PBB diatur cuma dalam 13 Pasal (Pasal 77 s.d. Pasal 84), sedangkan BPHTB hanya dalam 14 Pasal (Pasal 85 s.d. Pasal 93). Bandingkan dengan UU PBB yang mengatur sebanyak 31 Pasal dan UU BPHTB sebanyak 27 Pasal.
Untuk diketahui, total setoran PBB P2 dan BPHTB sangat besar yaitu kurang lebihnya Rp14 Triliun setiap tahunnya yang nantinya akan masuk ke Pemda. Coba anda bayangkan sendiri? Nah bagaimana kesiapan derah dalam menerima pemasukan dari 2 sektor ini? Mungkin saja saat ini sudah bertambah pemda yang siap menerima ke-2 jenis pendapatan ini.
Dari pihak Pemerintah Pusat (Ditjen Pajak), mengatakan ada 3 infrastruktur yang harus disiapkan sebelum mengimplementasikan UU PDRD yang baru, yaitu; pertama, pemetaan nasional untuk mengetahui semua obyek pajak yang dimasukkan. Kedua, sistem manajemen informasi obyek pajak yang saat ini baru terdigitalisasi sekitar 30%. Ketiga, dibentuknya Badan/lembaga Penilaian Harga pasar wajar nasional independen di setiap daerah. Di samping yang tidak kalah penting adalah kesiapan SDM, peraturan teknis, sistem teknologi informasi dan pembiayaannya.
Selama ini, Pemerintah Pusat (Ditjen Pajak) dalam sudah hampir sepenuhnya memberikan bagiannya kepada pemda dan hanya bersifat mengadministrasikan saja baik PBB dan BPTHB. Adapun untuk PBB sektor P3 (Perkebunan, Perhutanan dan Pertambangan) belum akan diserahkan ke Pemda karena berbagai pertimbangan yang ada.
Tambahan rejeki bagi Pemda dari 2 sektor ini akan menambah pundi-pundi Kas daerah dari sebelumnya melalui sudah mendapat pendapatan dari PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi Dalam Negeri sebesar 20%.
Di masa desentralisasi fiskal saat ini Pemerintah Daerah belum mampu untuk mendanai semua anggaran secara mandiri melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD), hal ini terbukti dengan prosentase PAD yang masih relatif kecil apabila dibandingkan dengan Total Pendapatan dalam APBD. Oleh sebab itu peran Pemerintah Pusat sangat penting dalam menutup celah fiskal yang ada di daerah melalui Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus.
Struktur Dana Bagi Hasil Pajak terdiri dari :
A. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dengan pembagian sebagai berikut :
· Bagian Pemerintah Provinsi : 16,2%
· Bagian Pemerintah Kota/Kabupaten : 64,8%
· Bagian 10% dibagikan lagi ke pemerintah Kota/Kabupaten berdasarkan realisasi penerimaan PBB, dimana 65% dibagikan secara merata kepada seluruh daerah Kabupaten/Kota dan 35% dibagikan sebagai insentif kepada daerah Kabupaten/kota yang realisasi tahun sebelumnya mencapai/melampaui rencana penerimaan sektor tertentu.
· Biaya Pemungutan 9%
B. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dengan pembagian sebagai berikut :
· Bagian Pemerintah Provinsi : 16%
· Bagian Pemerintah Kota/Kabupaten : 64%
· 20% bagian Pemerintah Pusat dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk Pemerintah Kabupaten/Kota
C. Penerimaan PPh Pasal 25 dan 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 sebesar 20%, dimana 40% untuk Pemerintah Daerah Provinsi dan 60% untuk Kabupaten/Kota.
Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri Netto yang ditetapkan dalam APBN. Dalam struktur APBN dapat diketahui bahwa Pendapatan Dalam Negeri 70% berasal dari penerimaan pajak yang terdiri dari Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Bea Materai, Cukai, PBB dan BPHTB. Oleh karena itu porsi pembagian DAU dan DAK sebagian besar bersumber dari penerimaan Pajak Pusat yang diadministrasikan oleh Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Bea Cukai Departemen Keuangan Republik Indonesia.
Dalam rangka meningkatkan Perolehan Dana Bagi Hasil Pajak, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus, maka di perlukan kerjasama dan sinergi antara Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Keuangan Republik Indonesia sebagai pelaksananya adalah Direktorat Jenderal Pajak (Kantor Pusat, Kanwil, KPP, KP2KP) dengan Kementerian Dalam Negeri dalam hal ini Pemerintah Daerah Propinsi (Gubernur), Kabupaten (Bupati), Kota (Walikota) melalui Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), Camat, Lurah/Kepala Desa, RW, RT serta DPRD Propinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota untuk bersama-sama berupaya meningkatkan penerimaan pajak sehingga berdampak pada pertumbuhan APBD.
Wassalam.
Budhi Tjahyadi
KPP Pratama Jakarta Matraman
1 komentar:
sering-sering nulis ya....xixixixix
Posting Komentar