Senin, 28 Maret 2011

Gijzeling bukan pilihan Utama

gambar dari google

Apa jadinya kalau Wajib Pajak tidak mau memenuhi kewajibannya? Jelas akan timpang, lantaran kewajiban selalu berbarengan dengan hak. Bila hak sebagai warga negara terpenuhi, sementara membayar pajak diabaikan, gijzeling dapat menjadi pengingat yang efektif.
Pencairan tunggakan pajak sekitar 30 persen dari total outstanding tunggakan pajak yang menggembung merupakan perkara yang tidak mudah. Kebijakan pencairan tunggakan pajak, baik yang smooth maupun hard, pun akan dilakukan. Gijzeling, termasuk di antaranya.

Bahasa menunjukkan niat, hal itulah yang perlu dicermati oleh kita semua, keinginan melaksanakan kegiatan gijzeling (penyanderaan) dibutuhkan suatu pemahaman khusus, untuk menjelaskan kenapa kebijakan-kebijakan tersebut diambil, dan juga dengan menggunakan kalimat-kalimat positip dan kata-kata yang menyejukkan baik pada saat sosialisasi tentang  gijzeling (penyanderaan) kepada masyarakat ataupun penjelasan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Seperti diketahui, gijzeling (penyanderaan) adalah pengekangan sementara waktu kebebasan Penanggung Pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu. Gijzeling ditempuh bila Penanggung Pajak memiliki jumlah utang pajak, sekurang-kurangnya Rp100 juta. Selain itu, jika Penanggung Pajak diragukan iktikad baiknya dalam melunasi utang pajak.
Prosedurnya, gijzeling dilaksanakan pada saat Surat Perintah gijzeling diterima oleh Penanggung Pajak yang bersangkutan. Sementara itu, masa gijzeling paling lama enam bulan sejak Penanggung Pajak dimasukkan pada tempat penyanderaan dan dapat diperpanjang, selama-lamanya enam bulan.
Meski demikian, gijzeling tidak mengakibatkan hapusnya utang pajak dan terhentinya pelaksanaan penagihan. Proses ini semacam teguran keras, berupa sanksi sementara, tanpa efek hilangnya utang pajak, juga surutnya penagihan. Dengan cara tersebut, diharapkan Penanggung Pajak yang bermasalah dapat segera memenuhi kewajibannya.
Di sisi lain, bila dirasa perlu, Penanggung Pajak dapat saja melakukan gugatan terhadap pelaksanaan gijzeling. Gugatan ini hanya dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri dan tidak dapat dilakukan setelah masa penyanderaan berakhir. Sekali lagi, gugatan tidak kemudian serta-merta menunda pelaksanaan penagihan pajak.
Lebih lanjut, Penanggung Pajak juga dapat mengajukan permohonan rehabilitasi nama baik dan ganti rugi atas penyanderaan, bila gugatan Penanggung Pajak dikabulkan, dan putusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Permohonan rehabilitasi nama baik dan ganti rugi itu diajukan kepada Pejabat yang menerbitkan Surat Perintah penyanderaan.
Rehabilitasi nama baik dilaksanakan oleh Pejabat dalam bentuk satu kali pengumuman pada media cetak harian berskala nasional dengan ukuran memadai, yang dilakukan paling lambat tiga puluh hari sejak diterimanya permohonan Penanggung Pajak. Besarnya ganti rugi yang diberikan Pejabat kepada Penanggung Pajak sebesar Rp100 ribu setiap harinya, selama masa penyanderaan yang telah dijalaninya. Ganti rugi atas penyanderaan diberikan paling lambat tiga puluh hari sejak diterimanya permohonan Penanggung Pajak.
Namun, tak ada yang perlu dikhawatirkan dari penyikapan jenis ini. Berdasarkan ketentuan yang berlaku, tindakan gijzeling merupakan langkah terakhir yang diambil pemerintah setelah melalui berbagai tahapan, mulai dari proses penagihan, pemberian teguran, pencekalan, dan pemblokiran rekening. Dalam Pasal 33 Ayat 1 UU No. 19/2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa, tindakan paksa badan harus dipandang sebagai upaya terakhir yang dilaksanakan secara selektif dan hati-hati, juga harus memenuhi syarat kuantitatif dan kualitatif.
Budaya Malu
SEBENARNYA, ada makna yang lebih dalam dari sekadar penerapan gijzeling. Tentang budaya malu bangsa ini. Sejak lama, bangunan peradaban Nusantara sangat diilhami dan didominasi gengsi ketertutupan. Seseorang akan merasa malu, bila kehidupan pribadinya banyak dibicarakan orang lain. Seseorang akan merasa malu, bila ia tak lagi melaksanakan kewajibannya. Seseorang akan sangat merasa malu, bila ia tak dapat memberikan penghormatan pada kepentingan luas.
Fenomena gijzeling merepresentasi perilaku kemasyarakatan yang hanya mementingkan diri sendiri. Bila masing-masing orang merasa senang menunaikan kewajiban, serupa dengan tuntutan haknya, jelas gijzeling tidak perlu ada. Karena, dalam masyarakat yang beretika, paksaan hanya digunakan, bila telah sangat keterlaluan. Lihatlah, jumlah kasus penyidikan gijzeling yang terus menaik. Memprihatinkan, lantaran sebenarnya, bukan berarti Wajib Pajak tersebut tidak ingin membayar pajak. Mereka justru ingin menghindar dari pajak.
Sedikit melongok ke luar negeri, awal tahun kemarin, calon Menteri Kesehatan dan Layanan Masyarakat Amerika Serikat, Tom Daschle, mengundurkan diri karena terjerat masalah pajak. Daschle mengundurkan diri dari Kabinet Obama lantaran lalai membayar pajak terutang senilai US $ 128.203 berikut bunga sebesar US$11.964 selama periode 2005-2007.
Anda tahu siapa Daschle? Sebelum ditunjuk Obama sebagai calon menteri, Daschle adalah seorang politisi senior. Ia senator yang pernah memimpin Fraksi Demokrat di Senat. Apakah Anda tahu juga, bagaimana promosi Daschle? Saat mengajukan Daschle menjadi kandidat Menteri Kesehatan, Obama memberinya dua tugas utama. Pertama, memimpin Departemen Kesehatan dan Layanan Masyarakat. Kedua, menjadi kepala layanan kesehatan Gedung Putih. Posisi Daschle sangat penting karena berkaitan dengan salah satu agenda tersulit dalam program 100 Hari Pertama Obama, yakni mereformasi layanan kesehatan.
Namun apa lacur, Daschle tetap harus berhenti, karena jelas ia malu. Sebuah perilaku yang dapat ditiru siapa pun. Sifat malu ini dapat memengaruhi budaya kerja masyarakat, di mana pun mereka berada.
Pengingat
Sekali lagi, gijzeling bukan pilihan utama. Ia dikreasi sebagai pengingat Wajib Pajak yang lalai akan kewajibannya. Sebagai pengingat, gijzeling diharapkan efektif membenahi permasalahan keterlambatan penerimaan pajak. Umumnya pengingat, ia tidak diorientasikan untuk menyakiti, tapi didedikasikan pada optimalisasi peran masing-masing warga negara agar saling dukung, membangun negeri, terutama dalam hal perpajakan.
Kitapun harus tahu betapa tunggakan pajak semakin tahun semakin meningkat sehingga dibutuhkan suatu pengelolaan serta penanganan khusus, yang pada akhirnya  upaya tersebut dapat mengurangi tax gap, bahkan dapat mengisi pundi-pundi penerimaan Negara disektor pajak.
Gijzeling juga bermakna kebersamaan. Karena, warga negara yang baik adalah warga yang mau untuk saling mengingatkan. Bila ada kesalahan, akan berpengaruh bagi semua. Bila ada benarnya, semua orang akan menuai hasilnya. Jadi, tidak lagi dapat dipisahkan, siapa yang lebih diuntungkan dari adanya gijzeling. Semua pihak sama-sama memiliki peran penting bagi berhasil atau tidaknya penerapan gijzeling.(kompasiana/erwinmalian)

0 komentar:

Posting Komentar

Pintar pajak dengan blog, share pajak di sini aja ya www.humaspajak.co.cc